Landasan Ontologi
Ontologi berasal dari bahasa Yunani
yang artinya ilmu tentang yang ada. Sedangkan, menurut istilah adalah
ilmu yang membahas sesuatu yang telah ada, baik secara jasmani maupun secara
rohani. Dalam aspek Ontologi diperlukan landasan-landasan dari sebuah pernyataan-pernyataan
dalam sebuah ilmu. Landasan-landasan itu biasanya kita sebut dengan
Metafisika.
Selain Metafisika juga terdapat sebuah asumsi
dalam aspek ontologi ini. Asumsi ini berguna ketika kita akan mengatasi suatu
permasalahan. Dalam asumsi juga terdapat beberapa paham yang berfungi untuk
mengatasi permasalahan-permasalahan tertentu, yaitu: Determinisme (suatu paham
pengetahuan yang sama dengan empiris), Probablistik (paham ini tidak sama
dengan Determinisme, karena paham ini ditentukan oleh sebuah kejadian terlebih
dahulu), Fatalisme (sebuah paham yang berfungsi sebagai paham penengah antara
determinisme dan pilihan bebas), dan paham pilihan bebas. Setiap ilmuan
memiliki asumsi sendiri-sendiri untuk menanggapi sebuah ilmu dan mereka mempunyai
batasan-batasan sendiri untuk menyikapinya. Apabila kita memakai suatu paham
yang salah dan berasumsi yang salah, maka kita akan memperoleh kesimpulan yang
berantakan.
Ontologi merupakan cabang teori
hakikat yang membicarakan hakikat sesuatu yang ada. Dari aliran ini muncul
empat macam aliran filsafat, yaitu :
(1) aliran Materialisme
(2) aliran Idealisme
(3) aliran Dualisme
(4) aliran Agnoticisme.
Artinya ontologi adalah teori tentang wujud.
Obyek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran
studi filsafat pada umumnya dilakukan oleh filsafat metafisika. Istilah
ontologi banyak digunakan ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat
ilmu.Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu
perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal,
menampilkanpemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang
termuat dalamsetiap kenyataan.
Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula alam pikiran Yunani telah menunjukan munculnya perenungan di bidang ontologi. Dalam persolan ontologi orang menghadapi persoalan bagaimanakah kita menerangkan hakikat dari segala yang ada ini? Pertama kali orang dihadapkan pada adanya dua macam kenyataan. Yang pertama, kenyataan yang berupa materi (kebenaran) dan kedua, kenyataan yang berupa rohani (kejiwaan).
Pembicaraan tentang hakikat sangatlah luas sekali, yaitu segala yang ada dan yang mungkin adalah realitas; realita adalah ke-real-an, riil artinya kenyataan yang sebenarnya. Jadi hakikat adalah kenyataan sebenarnya sesuatu, bukan kenyataan sementara atau keadaan yang menipu, juga bukan kenyataan yang berubah.
Pembahasan tentang ontologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk menjawab “apa” yang
Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula alam pikiran Yunani telah menunjukan munculnya perenungan di bidang ontologi. Dalam persolan ontologi orang menghadapi persoalan bagaimanakah kita menerangkan hakikat dari segala yang ada ini? Pertama kali orang dihadapkan pada adanya dua macam kenyataan. Yang pertama, kenyataan yang berupa materi (kebenaran) dan kedua, kenyataan yang berupa rohani (kejiwaan).
Pembicaraan tentang hakikat sangatlah luas sekali, yaitu segala yang ada dan yang mungkin adalah realitas; realita adalah ke-real-an, riil artinya kenyataan yang sebenarnya. Jadi hakikat adalah kenyataan sebenarnya sesuatu, bukan kenyataan sementara atau keadaan yang menipu, juga bukan kenyataan yang berubah.
Pembahasan tentang ontologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk menjawab “apa” yang
Menurut Aristoteles merupakan The
First Philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi benda. Kata ontologis
berasal dari perkataan Yunani; On = being, dan logos = logic. Jadi ontologi
adalah the theory of being qua being ( teori tentang keberadaan sebagai keberadaan).
Sedangkan pengertian ontologis
menurut istilah , sebagaimana dikemukakan oleh S. Suriasumantri dalam Pengantar
Ilmu dalam Prespektif mengatakan, ontologi membahas apa yang ingin kita
ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu
pengkajian mengenai teori tentang “ada”.
Sementara itu, A. Dardiri dalam
bukunya Humaniora, filsafat, dan logika mengatakan, ontologi adalah menyelidiki
sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan cara yang berbeda di
mana entitas dari kategori-kategori yang logis yang berlainan (objek-objek
fisis, hal universal, abstraksi) dapat dikatakana ada; dalam kerangka
tradisional ontologi dianggap sebagai teori mengenai prinsip-prinsip umum dari
hal ada, sedangkan dalam hal pemakaiannya akhir-akhir ini ontologi dipandang
sebagai teori mengenai apa yang ada.
Term ontologi pertama kali
diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun 1636 M. Untuk menamai teori
tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis. Dalam perkembangannya
Christian Wolff (1679-1754 M) membagi metafisika menjadi dua, yaitu metafisika
umum dan metafisika khusus. Metrafisika umum dimaksudkan sebagai istilah lain
dari ontologi.
Dengan demikian, metafisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan prinsip paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada. Sedang metafisika khusus masih dibagi lagi menjadi kosmologi, psikologi, dan teologi.
Kosmologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang alam semesta. Psikologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang jiwa manusia. Teologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan Tuhan.
Dengan demikian, metafisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan prinsip paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada. Sedang metafisika khusus masih dibagi lagi menjadi kosmologi, psikologi, dan teologi.
Kosmologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang alam semesta. Psikologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang jiwa manusia. Teologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan Tuhan.
ASAL
MULA ILMU KOMUNIKASI
Perkembangan komunikasi sebagai ilmu selalu
dikaitkan dengan aktifitas retorika yang terjadi di zaman Yunani kuno, sehingga
menimbulkan pemahaman bagi pemikir-pemikir barat bahwa perkembangan komunikasi
pada zaman itu mengalami masa kegelapan (dark ages) karena tidak berkembang di
zaman Romawi kuno. Dan baru mulai dicatat perkembangannya pada masa
ditemukannya mesin cetak oleh Guttenberg (1457). Sehingga masalah yang muncul
adalah, rentang waktu antara perkembangan ilmu komunikasi yang awalnya dikenal
retorika pada masa Yunani kuno, sampai pada pencatatan sejarah komunikasi pada
masa pemikiran tokoh-tokoh pada abad 19, sangat jauh. Sehingga sejarah
perkembangan ilmu komunikasi itu sendiri terputus kira-kira 1400 tahun. Padahal
menurut catatan lain, sebenarnya aktifitas retorika yang dilakukan pada zaman
Yunani kuno juga dilanjutkan perkembangan aktifitasnya pada zaman pertengahan
(masa persebaran agama). Sehingga menimbulkan asumsi bahwa perkembangan
komunikasi itu menjadi sebuah ilmu tidak pernah terputus, artinya tidak ada
mata rantai sejarah yang hilang pada perkembangan komunikasi. Makalah ini ingin
mengangkat zaman persebaran agama yang berlangsung antara rentang waktu
tersebut (zaman pertengahan) menjadi bagian dari perkembangan ilmu komunikasi.
Sehingga zaman pertengahan menjadi jembatan alur perkembangan komunikasi dari
zaman yunani kuno ke zaman renaissance, modern, dan kontemporer.
ANTOLOGI
DALAM FILSAFAT KOMUNIKASI
Pertanyaan untuk mengekspresikan ontology
ilmu komunikasi, misalnya: Apakah realitas dalam komunikasi itu? Apa eksistensi
yang sesungguhnya dari ilmu komunikasi itu? Apakah ilmu komunikasi merupakan
realitas yang tampak atau tidak?. Untuk ilmuwan
dalam bidang komunikasi, hal ini meliputi pemikiran mengenai tabiat dunia
sosial dan entitas yang memenuhi dunia. Dalam ilmu komunikasi, ontologi
berpusat pada interaksi sosial manusia. Seperti hanya pada ranah epistemologi,
ontologi dalam ilmu komunikasi juga dapat dilihat dari beragam perspektif.
Misalnya Burell dan Morgan (1979) yang berposisi sebagai realis.
Filsafat komunikasi adalah bagian filsafat
yang menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat dan proses ilmu
komunikasi. Bidang ini mempelajari dan menelaah pemahaman secara
fundamental, metodologis, sistematis, analitis, kritis, dan holistis teori dan
proses komunikasi. Pada dasarnya filsafat komunikasi memberikan pengetahuan
tentang kedudukan Ilmu Komunikasi dari perspektif epistemology.
Telaah filsafat komunikasi
berkaitan erat dengan ontology, epistemology dan aksiologi.
Ontologi berarti studi tentang arti “ada” dan “berada”, tentang ciri-ciri
esensial dari yang ada dalam dirinya sendiri. Ontologi sendiri berarti memahami
hakikat jenis ilmu pengetahuan itu sendiri yang dalam hal ini adalah Ilmu
Komunikasi.Ilmu komunikasi dipahami melalui objek materi dan objek formal.
Secara ontologis Ilmu komunikasi sebagai objek materi dipahami sebagai sesuatu
yang monoteistik pada tingkat yang paling abstrak atau yang paling tinggi
sebagai sebuah kesatuan dan kesamaan sebagai makhluk atau benda. Sementara
objek forma melihat Ilmu Komunikasi sebagai suatu sudut pandang (point of
view), yang selanjutnya menentukan ruang lingkup studi itu sendiri. Contoh
relevan aspek ontologis Ilmu Komunikasi adalah sejarah ilmu Komunikasi,
Founding Father, Teori Komunikasi, Tradisi Ilmu Komunikasi, Komunikasi Manusia,
dan lain-lain.
FILSAFAT
KOMUNIKASI, dapat
juga disebut sebagai penjabaran dari filsafat ilmu melalui tiga hakikatnya
sebagai landasan filosofisnya. Aspek-apsek komunikasi sebagai ilmu pengetahuan,
seperti fenomena komunikasi manusia (sebagai suatu obyek), bagaimana
mendapatkan pengetahuan tentang komunikasi manusia sebagai ilmu secara benar
atau berdasarkan cara-cara tertentu, dan untuk apa komunikasi manusia sebagai
ilmu pengetahuan digunakan, dan berbagai ragam pertanyaan filsafat ilmu lainnya
tentang komunikasi manusia sebagai sebuah obyek adalah merupakan ruang lingkup
dan lokus filsafat komunikasi.
Uraian
sebagai penjabaran dapat dilihat dengan memulai pertanyaan: apa yang menjadi
obyek telaah ilmu komunikasi? Pertanyaan ontologis ini tentu harus menjawab
sejumlah pertanyaan yang merupakan pertanyaan-pertanyaan ontologis seperti
wujud dari obyek itu. Katakanlah pesan antar manusia sebagai obyek telaah ilmu
komunikasi, apa hakikat pesan-pesan itu, bagaimana wujud pesan-pesan itu.
Secara epistemologis, dalam cara tertentu yang memenuhi unsur-unsur ilmiah,
pesan-pesan antar menusia ini disusun hingga menjadi sebuah ilmu pengetahuan.
Lalu terakhir, apa-apa saja manfaat dan kegunaan ilmu komunikasi itu bagi
kehidupan manusia.
Jadi,
filsafat komunikasi memberikan petunjuk-petunjuk mengenai bagaimana pengetahuan
tentang pesan-pesan antar manusia itu dapat diwujudkan sebagai pengetahuan
ilmiah. Sampai di sinilah batas kewenangan filsafat komunikasi. Selanjutnya,
bagaimana komunikasi itu berkembang dan perkembangannya mengarah ke mana, itu
menjadi tugas ilmu pengetahuan, alias tugas ilmu komunikasi itu sendiri.
Filsafat komunikasi sesungguhnya bukan hanya
penjabaran belaka dari filsafat ilmu untuk melegitimasi eksistensi ilmu
komunikasi sebagai disiplin ilmu tersendiri yang dapat dibedakan dari ilmu-ilmu
lainnya. Fenomena komunikasi manusia merupakan sentra bagi ilmu-ilmu tentang
prilaku manusia. Oleh karena itu, kajian filsafat tentang komunikasi manusia
juga sekaligus menjadi petunjuk bagi ilmu-ilmu lain yang menelaah perilaku
manusia.
Menurut kaum realis ini, dunia fisik dan
sosial dilihat sebagai struktur yang eksis di “luar sana” dan bebas dari
persepsi individu. Bagi kaum realis, setiap individu bisa memiliki tingkat
konsep yang beragam yang disebut kompensi berkomunikasi seperti seseorang
memiliki rambut dengan warna yang tertentu. Sedangkan menurut kaum nominalis,
kompetensi komunikasi individu merupakan label dari pengalaman spesifik
individu dalam dunia sosial mereka; hal ini tidak riil dan tidak obyektif.
Ontologi dalam ilmu komunikasi menjadi penting
karena para teoritisi mengkonseptualisasikan komunikasi dengan bergantung pada
pengukuran yang luas mengenai bagaimana melihat para komunikator itu. Walaupun
begitu banyak posisi ontologis dapat dilihat dalam teori komunikasi, ada dua
posisi dasar yang mengemuka: actional theory dan nonactional theory.
Actional theory berasumsi bahwa individu menciptakan makna, memiliki
intensi, dan membuat pilihan-pilihan yang riil. Mereka berasumsi bahwa
orang-orang bertingkah laku secara berbeda dalam situasi yang berbeda karena
perubahan aturan. Non actional theory berasumsi bahwa tingkah laku pada
dasarnya terbagi dan tergantung pada kondisi biologis dan lingkungan. Hukum
biasanya dipandang sebagai sesuai dengan tradisi ini; intepretasi individu ada
di ranah bawah.
Sebagai ilustrasi, penulis akan mengemukakan
kasus kekerasan dalam media yang dipotret melalui paradigma intepretif. Secara
ontologi, paradima ini mengakui bahwa realitas sosial terjadi dalam bentuk
multi konstruksi mental berdasarkan lingkungan sosial ataupun pengalaman
individu, bersifat lokal dan spesifik, tergantung pada individu yang melakukan
pendefinisian terhadap sesuatu. Social realities cime to be understood and
acted upon social actors. Reality can not be understood except
trough a consideration of the mental and social process that are continually
constructing that reality. Setiap individu memiliki interpretasi yang
berbeda terhadap fenomena kekerasan dalam media. Kestabilan pendangan mengenai
realitas yang ditampilkan dalam media akan mempengaruhi perilakunya dalam
realitas sosial mereka. Dengan paradigma ini, secara ontologis, kekerasan dalam
media dipandang sebagai multikonstruksi mental dari individu yang mengambil
referensi brdasarkan lingkungan sosial ataupun pengalaman individu
masing-masing.
sebuah obyek dalam bidang ilmu komunikasi !
Ada dua cara mendefinisikan obyek komunikasi.
Pertama, obyek material, pendefinisian obyek dilakukan secara obyektif sesuai
sifat-sifat umum dari obyek tersebut. Kedua, obyek formal, yakni obyek yang
didefinisikan secara subyektif menurut komunitas keilmuan yang bersangkutan –
dalam hal ini ilmu komunikasi. Obyek formal atau focus of interest dalam
ilmu komunikasi, yakni institusi atau sistem pendukung media, institusi atau
sistem media komunikasi dan output atau content (isi
media). Lebih tegas, Ashadi Siregar (1994: 4 dalam Ana Nadya Abrar)
menyebut focus of interest ilmu komunikasi adalah informasi dan media.
Obyek ini memiliki dua konteks, yakni internal dan eksternal. Konteks internal
mencakup dimensi fungsi dan institusi atau sistem kerja; sedangkan konteks
eksternalnya adalah khalayak (efek dan motivasinya). Dalam tulisan ini, obyek
dalam ilmu komunikasi yang akan dikaji adalah content media televisi di
Indonesia.
Mengapa
isi media televisi?
Eksistensi televisi akhir-akhir ini menjadi
keresahan tersendiri bagi penulis. Ada yang mengatakan, budaya kekerasan,
adopsi gaya hidup, dan serapan nilai-nilai konsumerisme melalui media merupakan
realitas yang menjadi bagian dari dinamika kehidupan itu sendiri. Ironisnya,
saat ini televisi justru menampilkan program-program yang berbenturan dengan
nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Salah satunya karena munculnya perlbagai
siaran televisi domestik dan asing yang datang dari seluruh penjuru dunia.
Ramuan kekerasan dan seksualitas mendominasi tayangan televisi, bahkan subandy
Ibrahim mengatakan pengaruh televisi terbesar terutama pada aspek budayanya.
Lalu, apa dan bagaimana sesungguhnya isi media televisi di Indonesia itu?
Penulis akan mengurainya berdasarkan beberapa dimensi berikut.
Karakter
Umum
Televisi merupakan sarana (media) komunikasi
massa sehingga memiliki karakter sesuai karakter media massa. Sumbernya
organisasi atau orang yang punya pengetahuan terbatas terhadap penerima;
melalui banyak tahap dalam encoding dan decoding; pesan publik terkadang mahal,
mudah terputus, sama untuk setiap orang (perlu standarisasi format); khalayak
yang besar, tak ada kehadiran secara fisik, memilih secara sukarela; feedback
terbatas dan tertunda, ada gangguan semantik, lingkungan dan mekanis. Televisi
– dalam ilmu komunikasi – ditempatkan pada media untuk menampilkan realitas
simbolik dari realitas sosial yang ada.
Sebagai sarana komunikasi, televisi memiliki
pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang. Dalam penyampaian
informasi, sebagai tugas pokoknya, media ini membawa pula pesan-pesan yang
berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru
mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap
terhadap hal tersebut. Pesan-pesan sugestif yang dibawa oleh informasi
tersebut, apabila cukup kuat, akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu
hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.
Televisi mampu menghadirkan sesuatu yang
aktual dan serempak dapat diterima oleh khalayak penontonnya. Karakter audio
visual televisi menyebabkan simulated experience – pengalaman-pengalaman
sesuai dengan yang telah dimiliki sebelumnya. Melalui media TV, kita dapat
melihat simulated experience tentang:
1. melihat sesuatu yang belum pernah
dilihat sebelumnya
2. berjumpa dengan seseorang yang belum
pernah dijumpai
3. datang ke suatu tempat yang belum
pernanh dikunjungi
Penemuan terakhir – berdasarkan rating –
program yang menarik dan memenuhi ekpektasi khalayak adalah sajian yang
diformat sebagai serial dengan suspens yang tinggi sehingga di setiap akhir
episode, penonton selalu ingin tahu kelanjutannya. Artistiknya pun diolah
dengan sangat memikat, misalnya: setting, kostum, lokasi, pemain dan naskahnya
(Wibowo, 1994).
Dimensi
Historis Obyek Kajian
Pada akhir abad ke-20 televisi benar-benar
menjadi fenomena global. Di Indonesia, televisi hadir pada tahun 1962 sebagai
pelayanan siaran pemerintah yang didanai oleh pemerintah. Siaran pertama
televisi Indonesia pada Agustus 1962: siaran perayaan peringatan hari
kemerdekaan ke-17 dan liputan 12 Hari Asian Games. Kemudian, melalui deregulasi
penyiaran televisi pada tahun 1990 dilakukan pendirian secara cepat lima
saluran swasta nasional. Bahkan perintis televisi, Soemartono, (seperti
dikutip Kitley) megatakan bahwa setelah Asean Games, program televisi lainnya
belum terpikirkan. Sembilan belas September 1962, siaran dimulai lagi dengan
film-film yang dipinjam dari pusat Film Negara.
Memasuki era orde baru, televisi banyak
diintervensi, bahkan didominasi oleh rezim negara. TVRI – satu-satunya stasiun
televisi pada waktu itu – seolah menjadi alat negara untuk menyampaikan
kamuflase propagandanya mengenai pembangunan. Hal ini lebih ditegaskan dengan
adanya pelarangan iklan serta program-program yang sepenuhnya dibuat secara
kerjasama dengan pemerintah. Saat ini, setelah semakin banyak
stasiun televisi yang memulai siarannya, masyarakat Indonesia dapat dikatakan
sedang mengalami banjir informasi. Televisi swasta bermunculan, sebut saja
RCTI, INDOSIAR, TPI, TRANS TV, TRANS 7, LATIVI, dll. Ditambah lagi merebaknya
stasiun televisi lokal membuat kompleksitas isi pertelevisian di Indonesia
membutuhkan perhatian yang lebih.
Dimensi
Subyek (Pelaku)
Ketika pertama kali bersiaran, armada TVRI
merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah. Seluruh program dan tayangannya
wajib dibuat bersama pemerintah. Demikian juga pada amsa orde baru, walaupun
sudah sedikit membuka diri kepada pasar, kepentingan pemerintah tetap
mendominasi siarannya. Misalnya sinetron-sinetron yang merepresentasikan
multikulturalisme di Indonesia, namun meletakkan etnis “non jawa” pada tingkat
sosial yang lebih rendah (Serial Unyil, Keluarga Rahmat, Pidato Kepresidenan
dan Mentri, Kunjungan Presiden, dll). Setelah televisi swasta berkembang,
dominasi pemerintah terhadap isi tayangan sudah mulai tereduksi. Persaingan
mengharuskan keterlibatan penguasa modal (baca: pengusaha/ industri) untuk ikut
ambil bagian dalam perkembangan isi pertelevisian. Implikasinya, tayangan yang
muncul bernuansa komersial dan berorientasi pada pasar – meninggalkan konteks
ideologisnya. Keresahan akan dominasi pengusaha yang dilegitimasi pemerintah
ini melahirkan wacana mengenai televisi lokal yang program-programnya
diharapkan dapat menampilkan kebudayaan lokal. Namun sampai saat ini,
keberadaan televisi lokal belum menjawab tantangan pertelevisian kita, karena
‘lagi-lagi’ pengusaha yang ada di balik desain program siarannya.
Dimensi
Interaksi (dengan khalayak)
Televisi merupakan media massa. Maka dia
melakukan interaksi dengan khalayak (audience) dalam konteks
eksternalnya. Tidak seperti media interaktif, media televisi cenderung pasif
dan menuntut keaktifan dari khalayak. Interaksi terjadi dalam proses
mengintepretasi pesan-pesan yang terkandung dalam isi media televisi. Hal ini
berarti bahwa media televisi mampu membuat perasaan khalayak terlibat ke dalam
pengalaman yang aktual. Untuk itu, menjawab tantangan perkembangan televisi,
dalam merencanakan program siaran harus memperhatikan selera, keinginan,
kebutuhan khalayak sehingga dapt memberi sugesti, imaji dan emosi yang
posistif. Menurut K. Aurey dalam bukunya Communication and The Media,
Khalayak bersifat reaktif dalam menerima pesan yang beragam coraknya. Sikap itu
diantaranya:
1. Selective attention (menerima pesan yang diminati saja)
2. Selective perception (berbeda persepsi dalam menerima
pesan)
3. Selective retension ( mengingat hanya yang berkaitan dengan kepentingan mereka
saja.
Kondisi sosial-ekonomi-budaya di Indonesia
menjadi konteks tersendiri interaksi khalayak dengan isi pesan televisi.
Padahal untuk mampu menarik manfaat dan mampu menilai kebenaran isi televisi,
dibutuhkan kemampuan berpikir kritis dari khalayak. Masyarakat belum mampu
menjadi penonton yang kritis dan benar lantaran tidak mempunyai ketrampilan
berinteraksi dengan media secara kritis. Dalam bahasa formal mereka perlu,
mendapatkan pendidikan media agar dapat mengambil manfaat dan tidak mudah
terpengaruh isi media. Pertanyaanya, apakah di Indonesia interaksi khalayak
dengan media sudah didasari dengan literasi ini? Selama ini kita masih
kesulitan memetakan jawabannya karena dalam masyarakat di Indonesia
“melek”media masih dimiliki oleh struktur masyarakat tertentu, sedangkan
sebagian besar lainnya, belum tersentuh.
Komunikasi
sebagai Sebuah Ilmu
Syarat-syarat
Ilmu:
1. Suatu
ilmu harus mempunyai objek kajian.
2. Objek
kajiannya terdiri dari satu golongan masalah yang sama tabiatnya baik dilihat
dari dalam maupun dari luar.
3. Keterangan
mengenai objek kajian tersebut dapat disusun dalam rangkaian hubungan sebab
akibat.
-
Objek kajian Ilmu Komunikasi adalah “usaha
manusia dalam menyampaikan isi pesannya kepada manusia lain”.
-
Objek kajian ilmu komunikasi terdiri dari satu
golongan masalah, yaitu bagaimana usaha manusia menyampaikan isi pesannya
kepada manusia lain, bukan usaha manusia mencari nafkah, bukan usaha
manusia mencari keadilan, dan lain-lain.
-
Ilmu komunikasi jg mempunyai satu golongan
masalah yang sama tabiatnya maupun menurut kedudukannya tampak dari
luar maupun menurut bangunnya baik dilihat dari dalam, yaitu:
1.
Usaha manusia untuk menyampaikan isi pesannya kepada manusia lain bukan usaha
binatang, bukan usaha angin, bukan usaha pohon beringin, tetapi usaha manusia
yang dapat menggunakan akal budinya, bukan usaha manusia yang tidak dapat
menggunakan akal budinya.
2.
Usaha manusia dalam menyampaikan isi pesannya kepada manusia lain bukan usaha
manusia dalam menyampaikan isi pesannya kepada Tuhan.
DAFTAR PUSAKA
H.
Sofyan Sauri, Dr. M.Pd. Pendidikan Berbahasa Santun. (2006) Bandung : PT
Genesindo
Juhaya S. Praja, Prof. Dr. Aliran-aliran dalam Filsafat dan Etika. (2005). Jakarta : Prenada Media.
Tafsir, A. (2002). Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
S. Suriasumatri, J. (2003). Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Kebung, K. (2008). Filsafat dan Perwujudan Diri; Belajar Filsafat dan Berfilsafat. [Online]. Tersedia: http://eputobi.net/eputobi/konrad/temp/ filsafatdanberfilsafat.htm [4 September 2008]
Liang Gie, T. (1996). Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty.
M. Syarif, M. (1996). Para Filosof Muslim. Bandung: Mizan.
R. Semiawan, C. Dkk. (1991). Dimensi Kreatif Dalam Filsafat Ilmu. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sonny Keraf, A & Dua, M. (2001). Ilmu Pengetahuan, Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius.
Amsal Bakhtiar, (2006). Filsafat Ilmu. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Amsal Bachtiar. 2009. Filsafat Ilmu. Jakarta : Rajawali Pers
Juhaya S. Praja, Prof. Dr. Aliran-aliran dalam Filsafat dan Etika. (2005). Jakarta : Prenada Media.
Tafsir, A. (2002). Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
S. Suriasumatri, J. (2003). Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Kebung, K. (2008). Filsafat dan Perwujudan Diri; Belajar Filsafat dan Berfilsafat. [Online]. Tersedia: http://eputobi.net/eputobi/konrad/temp/ filsafatdanberfilsafat.htm [4 September 2008]
Liang Gie, T. (1996). Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty.
M. Syarif, M. (1996). Para Filosof Muslim. Bandung: Mizan.
R. Semiawan, C. Dkk. (1991). Dimensi Kreatif Dalam Filsafat Ilmu. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sonny Keraf, A & Dua, M. (2001). Ilmu Pengetahuan, Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius.
Amsal Bakhtiar, (2006). Filsafat Ilmu. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Amsal Bachtiar. 2009. Filsafat Ilmu. Jakarta : Rajawali Pers
Surajiyo.
2009. Filsafat Ilmu dan Pengembangannya
di Indonesia. Jakarta : Bumi Aksara
Rita
Kurnia. 2010. Program Pembelajaran
Pendidikan Anak Usia Dini. Pekanbaru : Cendikia
Insani
Arief
Sidharta. 2008. Apakah Filsafat dan
Filsafat Ilmu itu? Bandung : Pustaka Sutra
Wilson.
2009. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia
Dini. Pekanbaru
more about mimpi: Arti Mimpi Menurut Primbon
BalasHapusArti Kedutan Menurut Primbon