Langsung ke konten utama

filsafat komunikasi

Landasan Ontologi
  Ontologi berasal dari bahasa Yunani yang artinya ilmu tentang yang ada. Sedangkan,  menurut istilah adalah ilmu yang membahas sesuatu yang telah ada, baik secara jasmani maupun secara rohani. Dalam aspek Ontologi diperlukan landasan-landasan dari sebuah pernyataan-pernyataan dalam sebuah  ilmu. Landasan-landasan itu biasanya kita sebut dengan Metafisika.
  Selain Metafisika juga terdapat sebuah asumsi dalam aspek ontologi ini. Asumsi ini berguna ketika kita akan mengatasi suatu permasalahan. Dalam asumsi juga terdapat beberapa paham yang berfungi untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tertentu, yaitu: Determinisme (suatu paham pengetahuan yang sama dengan empiris), Probablistik (paham ini tidak sama dengan Determinisme, karena paham ini ditentukan oleh sebuah kejadian terlebih dahulu), Fatalisme (sebuah paham yang berfungsi sebagai paham penengah antara determinisme dan pilihan bebas), dan paham pilihan bebas. Setiap ilmuan memiliki asumsi sendiri-sendiri untuk menanggapi sebuah ilmu dan mereka mempunyai batasan-batasan sendiri untuk menyikapinya. Apabila kita memakai suatu paham yang salah dan berasumsi yang salah, maka kita akan memperoleh kesimpulan yang berantakan.
Ontologi merupakan cabang teori hakikat yang membicarakan hakikat sesuatu yang ada. Dari aliran ini muncul empat macam aliran filsafat, yaitu :
(1) aliran Materialisme
(2) aliran Idealisme
(3) aliran Dualisme
(4) aliran Agnoticisme.
  Artinya ontologi adalah teori tentang wujud. Obyek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya dilakukan oleh filsafat metafisika. Istilah ontologi banyak digunakan ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu.Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkanpemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalamsetiap kenyataan.
  Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula alam pikiran Yunani telah menunjukan munculnya perenungan di bidang ontologi. Dalam persolan ontologi orang menghadapi persoalan bagaimanakah kita menerangkan hakikat dari segala yang ada ini? Pertama kali orang dihadapkan pada adanya dua macam kenyataan. Yang pertama, kenyataan yang berupa materi (kebenaran) dan kedua, kenyataan yang berupa rohani (kejiwaan).
Pembicaraan tentang hakikat sangatlah luas sekali, yaitu segala yang ada dan yang mungkin adalah realitas; realita adalah ke-real-an, riil artinya kenyataan yang sebenarnya. Jadi hakikat adalah kenyataan sebenarnya sesuatu, bukan kenyataan sementara atau keadaan yang menipu, juga bukan kenyataan yang berubah.
Pembahasan tentang ontologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk menjawab “apa” yang
   Menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi benda. Kata ontologis berasal dari perkataan Yunani; On = being, dan logos = logic. Jadi ontologi adalah the theory of being qua being ( teori tentang keberadaan sebagai keberadaan).
 Sedangkan pengertian ontologis menurut istilah , sebagaimana dikemukakan oleh S. Suriasumantri dalam Pengantar Ilmu dalam Prespektif mengatakan, ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”.
  Sementara itu, A. Dardiri dalam bukunya Humaniora, filsafat, dan logika mengatakan, ontologi adalah menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan cara yang berbeda di mana entitas dari kategori-kategori yang logis yang berlainan (objek-objek fisis, hal universal, abstraksi) dapat dikatakana ada; dalam kerangka tradisional ontologi dianggap sebagai teori mengenai prinsip-prinsip umum dari hal ada, sedangkan dalam hal pemakaiannya akhir-akhir ini ontologi dipandang sebagai teori mengenai apa yang ada.
   Term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun 1636 M. Untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis. Dalam perkembangannya Christian Wolff (1679-1754 M) membagi metafisika menjadi dua, yaitu metafisika umum dan metafisika khusus. Metrafisika umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi.
  Dengan demikian, metafisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan prinsip paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada. Sedang metafisika khusus masih dibagi lagi menjadi kosmologi, psikologi, dan teologi.
Kosmologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang alam semesta. Psikologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang jiwa manusia. Teologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan Tuhan.
ASAL MULA ILMU KOMUNIKASI
  Perkembangan komunikasi sebagai ilmu selalu dikaitkan dengan aktifitas retorika yang terjadi di zaman Yunani kuno, sehingga menimbulkan pemahaman bagi pemikir-pemikir barat bahwa perkembangan komunikasi pada zaman itu mengalami masa kegelapan (dark ages) karena tidak berkembang di zaman Romawi kuno. Dan baru mulai dicatat perkembangannya pada masa ditemukannya mesin cetak oleh Guttenberg (1457). Sehingga masalah yang muncul adalah, rentang waktu antara perkembangan ilmu komunikasi yang awalnya dikenal retorika pada masa Yunani kuno, sampai pada pencatatan sejarah komunikasi pada masa pemikiran tokoh-tokoh pada abad 19, sangat jauh. Sehingga sejarah perkembangan ilmu komunikasi itu sendiri terputus kira-kira 1400 tahun. Padahal menurut catatan lain, sebenarnya aktifitas retorika yang dilakukan pada zaman Yunani kuno juga dilanjutkan perkembangan aktifitasnya pada zaman pertengahan (masa persebaran agama). Sehingga menimbulkan asumsi bahwa perkembangan komunikasi itu menjadi sebuah ilmu tidak pernah terputus, artinya tidak ada mata rantai sejarah yang hilang pada perkembangan komunikasi. Makalah ini ingin mengangkat zaman persebaran agama yang berlangsung antara rentang waktu tersebut (zaman pertengahan) menjadi bagian dari perkembangan ilmu komunikasi. Sehingga zaman pertengahan menjadi jembatan alur perkembangan komunikasi dari zaman yunani kuno ke zaman renaissance, modern, dan kontemporer.
ANTOLOGI DALAM FILSAFAT KOMUNIKASI
  Pertanyaan untuk mengekspresikan ontology ilmu komunikasi, misalnya: Apakah realitas dalam komunikasi itu? Apa eksistensi yang sesungguhnya dari ilmu komunikasi itu? Apakah ilmu komunikasi merupakan realitas yang tampak atau tidak?. Untuk ilmuwan dalam bidang komunikasi, hal ini meliputi pemikiran mengenai tabiat dunia sosial dan entitas yang memenuhi dunia. Dalam ilmu komunikasi, ontologi berpusat pada interaksi sosial manusia. Seperti hanya pada ranah epistemologi, ontologi dalam ilmu komunikasi juga dapat dilihat dari beragam perspektif. Misalnya Burell dan Morgan (1979) yang berposisi sebagai realis.
  Filsafat komunikasi adalah bagian filsafat yang menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat dan proses  ilmu komunikasi. Bidang ini mempelajari dan menelaah pemahaman  secara fundamental, metodologis, sistematis, analitis, kritis, dan holistis teori dan proses komunikasi. Pada dasarnya filsafat komunikasi memberikan pengetahuan tentang kedudukan Ilmu Komunikasi dari perspektif epistemology.
  Telaah   filsafat komunikasi berkaitan erat  dengan   ontology, epistemology dan aksiologi. Ontologi berarti studi tentang arti “ada” dan “berada”, tentang ciri-ciri esensial dari yang ada dalam dirinya sendiri. Ontologi sendiri berarti memahami hakikat jenis ilmu pengetahuan itu sendiri yang dalam hal ini adalah Ilmu Komunikasi.Ilmu komunikasi dipahami melalui objek materi dan objek formal. Secara ontologis Ilmu komunikasi sebagai objek materi dipahami sebagai sesuatu yang monoteistik pada tingkat yang paling abstrak atau yang paling tinggi sebagai sebuah kesatuan dan kesamaan sebagai makhluk atau benda. Sementara objek forma melihat Ilmu Komunikasi sebagai suatu sudut pandang (point of view), yang selanjutnya menentukan ruang lingkup studi itu sendiri. Contoh relevan aspek ontologis Ilmu Komunikasi adalah sejarah ilmu Komunikasi, Founding Father, Teori Komunikasi, Tradisi Ilmu Komunikasi, Komunikasi Manusia, dan lain-lain.
  FILSAFAT KOMUNIKASI, dapat juga disebut sebagai penjabaran dari filsafat ilmu melalui tiga hakikatnya sebagai landasan filosofisnya. Aspek-apsek komunikasi sebagai ilmu pengetahuan, seperti fenomena komunikasi manusia (sebagai suatu obyek), bagaimana mendapatkan pengetahuan tentang komunikasi manusia sebagai ilmu secara benar atau berdasarkan cara-cara tertentu, dan untuk apa komunikasi manusia sebagai ilmu pengetahuan digunakan, dan berbagai ragam pertanyaan filsafat ilmu lainnya tentang komunikasi manusia sebagai sebuah obyek adalah merupakan ruang lingkup dan lokus filsafat komunikasi.
Uraian sebagai penjabaran dapat dilihat dengan memulai pertanyaan: apa yang menjadi obyek telaah ilmu komunikasi? Pertanyaan ontologis ini tentu harus menjawab sejumlah pertanyaan yang merupakan pertanyaan-pertanyaan ontologis seperti wujud dari obyek itu. Katakanlah pesan antar manusia sebagai obyek telaah ilmu komunikasi, apa hakikat pesan-pesan itu, bagaimana wujud pesan-pesan itu. Secara epistemologis, dalam cara tertentu yang memenuhi unsur-unsur ilmiah, pesan-pesan antar menusia ini disusun hingga menjadi sebuah ilmu pengetahuan. Lalu terakhir, apa-apa saja manfaat dan kegunaan ilmu komunikasi itu bagi kehidupan manusia.
Jadi, filsafat komunikasi memberikan petunjuk-petunjuk mengenai bagaimana pengetahuan tentang pesan-pesan antar manusia itu dapat diwujudkan sebagai pengetahuan ilmiah. Sampai di sinilah batas kewenangan filsafat komunikasi. Selanjutnya, bagaimana komunikasi itu berkembang dan perkembangannya mengarah ke mana, itu menjadi tugas ilmu pengetahuan, alias tugas ilmu komunikasi itu sendiri.
  Filsafat komunikasi sesungguhnya bukan hanya penjabaran belaka dari filsafat ilmu untuk melegitimasi eksistensi ilmu komunikasi sebagai disiplin ilmu tersendiri yang dapat dibedakan dari ilmu-ilmu lainnya. Fenomena komunikasi manusia merupakan sentra bagi ilmu-ilmu tentang prilaku manusia. Oleh karena itu, kajian filsafat tentang komunikasi manusia juga sekaligus menjadi petunjuk bagi ilmu-ilmu lain yang menelaah perilaku manusia.
  Menurut kaum realis ini, dunia fisik dan sosial dilihat sebagai struktur yang eksis di “luar sana” dan bebas dari persepsi individu. Bagi kaum realis, setiap individu bisa memiliki tingkat konsep yang beragam yang disebut kompensi berkomunikasi seperti seseorang memiliki rambut dengan warna yang tertentu. Sedangkan menurut kaum nominalis, kompetensi komunikasi individu merupakan label dari pengalaman spesifik individu dalam dunia sosial mereka; hal ini tidak riil dan tidak obyektif.
 Ontologi dalam ilmu komunikasi menjadi penting karena para teoritisi mengkonseptualisasikan komunikasi dengan bergantung pada pengukuran yang luas mengenai bagaimana melihat para komunikator itu. Walaupun begitu banyak posisi ontologis dapat dilihat dalam teori komunikasi, ada dua posisi dasar yang mengemuka: actional theory dan nonactional theory. Actional theory berasumsi bahwa individu menciptakan makna, memiliki intensi, dan membuat pilihan-pilihan yang riil. Mereka berasumsi bahwa orang-orang bertingkah laku secara berbeda dalam situasi yang berbeda karena perubahan aturan. Non actional theory berasumsi bahwa tingkah laku pada dasarnya terbagi dan tergantung pada kondisi biologis dan lingkungan. Hukum biasanya dipandang sebagai sesuai dengan tradisi ini; intepretasi individu ada di ranah bawah.
  Sebagai ilustrasi, penulis akan mengemukakan kasus kekerasan dalam media yang dipotret melalui paradigma intepretif. Secara ontologi, paradima ini mengakui bahwa realitas sosial terjadi dalam bentuk multi konstruksi mental berdasarkan lingkungan sosial ataupun pengalaman individu, bersifat lokal dan spesifik, tergantung pada individu yang melakukan pendefinisian terhadap sesuatu. Social realities cime to be understood and acted upon social actorsReality can not be understood except trough a consideration of the mental and social process that are continually constructing that reality. Setiap individu memiliki interpretasi yang berbeda terhadap fenomena kekerasan dalam media. Kestabilan pendangan mengenai realitas yang ditampilkan dalam media akan mempengaruhi perilakunya dalam realitas sosial mereka. Dengan paradigma ini, secara ontologis, kekerasan dalam media dipandang sebagai multikonstruksi mental dari individu yang mengambil referensi brdasarkan lingkungan sosial ataupun pengalaman individu masing-masing.
sebuah obyek dalam bidang ilmu komunikasi !
  Ada dua cara mendefinisikan obyek komunikasi. Pertama, obyek material, pendefinisian obyek dilakukan secara obyektif sesuai sifat-sifat umum dari obyek tersebut. Kedua, obyek formal, yakni obyek yang didefinisikan secara subyektif menurut komunitas keilmuan yang bersangkutan – dalam hal ini ilmu komunikasi. Obyek formal atau focus of interest dalam ilmu komunikasi, yakni institusi atau sistem pendukung media, institusi atau sistem media komunikasi dan output atau content (isi media).  Lebih tegas, Ashadi Siregar (1994: 4 dalam Ana Nadya Abrar) menyebut focus of interest ilmu komunikasi adalah informasi dan media. Obyek ini memiliki dua konteks, yakni internal dan eksternal. Konteks internal mencakup dimensi fungsi dan institusi atau sistem kerja; sedangkan konteks eksternalnya adalah khalayak (efek dan motivasinya). Dalam tulisan ini, obyek dalam ilmu komunikasi yang akan dikaji adalah content media televisi di Indonesia.
Mengapa isi media televisi?
  Eksistensi televisi akhir-akhir ini menjadi keresahan tersendiri bagi penulis.  Ada yang mengatakan, budaya kekerasan, adopsi gaya hidup, dan serapan nilai-nilai konsumerisme melalui media merupakan realitas yang menjadi bagian dari dinamika kehidupan itu sendiri. Ironisnya, saat ini televisi justru menampilkan program-program yang berbenturan dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Salah satunya karena munculnya perlbagai siaran televisi domestik dan asing yang datang dari seluruh penjuru dunia. Ramuan kekerasan dan seksualitas mendominasi tayangan televisi, bahkan subandy Ibrahim mengatakan pengaruh televisi terbesar terutama pada aspek budayanya. Lalu, apa dan bagaimana sesungguhnya isi media televisi di Indonesia itu? Penulis akan mengurainya berdasarkan beberapa dimensi berikut.
Karakter Umum
 Televisi merupakan sarana (media) komunikasi massa sehingga memiliki karakter sesuai karakter media massa. Sumbernya organisasi atau orang yang punya pengetahuan terbatas  terhadap penerima; melalui banyak tahap dalam encoding dan decoding; pesan publik terkadang mahal, mudah terputus, sama untuk setiap orang (perlu standarisasi format); khalayak yang besar, tak ada kehadiran secara fisik, memilih secara sukarela; feedback terbatas dan tertunda, ada gangguan semantik, lingkungan dan mekanis. Televisi – dalam ilmu komunikasi – ditempatkan pada media untuk menampilkan realitas simbolik dari realitas sosial yang ada.
  Sebagai sarana komunikasi, televisi memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang. Dalam penyampaian informasi, sebagai tugas pokoknya, media ini membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Pesan-pesan sugestif yang dibawa oleh informasi tersebut, apabila cukup kuat, akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.
  Televisi mampu menghadirkan sesuatu yang aktual dan serempak dapat diterima oleh khalayak penontonnya. Karakter audio visual televisi menyebabkan simulated experience – pengalaman-pengalaman sesuai dengan yang telah dimiliki sebelumnya. Melalui media TV, kita dapat melihat simulated experience tentang:
1.     melihat sesuatu yang belum pernah dilihat sebelumnya
2.     berjumpa dengan seseorang yang belum pernah dijumpai
3.     datang ke suatu tempat yang belum pernanh dikunjungi
  Penemuan terakhir – berdasarkan rating – program yang menarik dan memenuhi ekpektasi khalayak adalah sajian yang diformat sebagai serial dengan suspens yang tinggi sehingga di setiap akhir episode, penonton selalu ingin tahu kelanjutannya. Artistiknya pun diolah dengan sangat memikat, misalnya: setting, kostum, lokasi, pemain dan naskahnya (Wibowo, 1994).
Dimensi Historis Obyek Kajian
  Pada akhir abad ke-20 televisi benar-benar menjadi fenomena global. Di Indonesia, televisi hadir pada tahun 1962 sebagai pelayanan siaran pemerintah yang didanai oleh pemerintah. Siaran pertama televisi Indonesia pada Agustus 1962: siaran perayaan peringatan hari kemerdekaan ke-17 dan liputan 12 Hari Asian Games. Kemudian, melalui deregulasi penyiaran televisi pada tahun 1990 dilakukan pendirian secara cepat lima saluran swasta nasional.  Bahkan perintis televisi, Soemartono, (seperti dikutip Kitley) megatakan bahwa setelah Asean Games, program televisi lainnya belum terpikirkan. Sembilan belas September 1962, siaran dimulai lagi dengan film-film yang dipinjam dari pusat Film Negara.
  Memasuki era orde baru, televisi banyak diintervensi, bahkan didominasi oleh rezim negara. TVRI – satu-satunya stasiun televisi pada waktu itu – seolah menjadi alat negara untuk menyampaikan kamuflase propagandanya mengenai pembangunan. Hal ini lebih ditegaskan dengan adanya pelarangan iklan serta program-program yang sepenuhnya dibuat secara kerjasama dengan pemerintah.  Saat ini, setelah  semakin banyak stasiun televisi yang memulai siarannya, masyarakat Indonesia dapat dikatakan sedang mengalami banjir informasi. Televisi swasta bermunculan, sebut saja RCTI, INDOSIAR, TPI, TRANS TV, TRANS 7, LATIVI, dll. Ditambah lagi merebaknya stasiun televisi lokal membuat kompleksitas isi pertelevisian di Indonesia membutuhkan perhatian yang lebih.
Dimensi Subyek (Pelaku)
  Ketika pertama kali bersiaran, armada TVRI merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah. Seluruh program dan tayangannya wajib dibuat bersama pemerintah. Demikian juga pada amsa orde baru, walaupun sudah sedikit membuka diri kepada pasar, kepentingan pemerintah tetap mendominasi siarannya. Misalnya sinetron-sinetron yang merepresentasikan multikulturalisme di Indonesia, namun meletakkan etnis “non jawa” pada tingkat sosial yang lebih rendah (Serial Unyil, Keluarga Rahmat, Pidato Kepresidenan dan Mentri, Kunjungan Presiden, dll). Setelah televisi swasta berkembang, dominasi pemerintah terhadap isi tayangan sudah mulai tereduksi. Persaingan mengharuskan keterlibatan penguasa modal (baca: pengusaha/ industri) untuk ikut ambil bagian dalam perkembangan isi pertelevisian. Implikasinya, tayangan yang muncul bernuansa komersial dan berorientasi pada pasar – meninggalkan konteks ideologisnya. Keresahan akan dominasi pengusaha yang dilegitimasi pemerintah ini melahirkan wacana mengenai televisi lokal yang program-programnya diharapkan dapat menampilkan kebudayaan lokal. Namun sampai saat ini, keberadaan televisi lokal belum menjawab tantangan pertelevisian kita, karena ‘lagi-lagi’ pengusaha yang ada di balik desain program siarannya.
Dimensi Interaksi (dengan khalayak)
  Televisi merupakan media massa. Maka dia melakukan interaksi dengan khalayak (audience) dalam konteks eksternalnya. Tidak seperti media interaktif, media televisi cenderung pasif dan menuntut keaktifan dari khalayak. Interaksi terjadi dalam proses mengintepretasi pesan-pesan yang terkandung dalam isi media televisi. Hal ini berarti bahwa media televisi mampu membuat perasaan khalayak terlibat ke dalam pengalaman yang aktual. Untuk itu, menjawab tantangan perkembangan televisi, dalam merencanakan program siaran harus memperhatikan selera, keinginan, kebutuhan khalayak sehingga dapt memberi sugesti, imaji dan emosi yang posistif. Menurut K. Aurey dalam bukunya Communication and The Media, Khalayak bersifat reaktif dalam menerima pesan yang beragam coraknya. Sikap itu diantaranya:
1.     Selective attention (menerima pesan yang diminati saja)
2.     Selective perception (berbeda persepsi dalam menerima pesan)
3.     Selective retension ( mengingat hanya yang berkaitan dengan kepentingan mereka saja.
  Kondisi sosial-ekonomi-budaya di Indonesia menjadi konteks tersendiri interaksi khalayak dengan isi pesan televisi. Padahal untuk mampu menarik manfaat dan mampu menilai kebenaran isi televisi, dibutuhkan kemampuan berpikir kritis dari khalayak. Masyarakat belum mampu menjadi penonton yang kritis dan benar lantaran tidak mempunyai ketrampilan berinteraksi dengan media secara kritis. Dalam bahasa formal mereka perlu, mendapatkan pendidikan media agar dapat mengambil manfaat dan tidak mudah terpengaruh isi media. Pertanyaanya, apakah di Indonesia interaksi khalayak dengan media sudah didasari dengan literasi ini? Selama ini kita masih kesulitan memetakan jawabannya karena dalam masyarakat di Indonesia “melek”media masih dimiliki oleh struktur masyarakat tertentu, sedangkan sebagian besar lainnya, belum tersentuh.
Komunikasi sebagai Sebuah Ilmu
Syarat-syarat Ilmu:
1.     Suatu ilmu harus mempunyai objek kajian.
2.     Objek kajiannya terdiri dari satu golongan masalah yang sama tabiatnya baik dilihat dari dalam maupun dari luar.
3.     Keterangan mengenai objek kajian tersebut dapat disusun dalam rangkaian hubungan sebab akibat.
  • Objek kajian Ilmu Komunikasi adalah “usaha manusia dalam menyampaikan isi pesannya kepada manusia lain”.
  • Objek kajian ilmu komunikasi terdiri dari satu golongan masalah, yaitu bagaimana usaha manusia menyampaikan isi pesannya kepada manusia lain, bukan usaha manusia mencari nafkah, bukan usaha manusia mencari keadilan, dan lain-lain.
  • Ilmu komunikasi jg mempunyai satu golongan masalah yang sama tabiatnya maupun menurut kedudukannya tampak dari luar  maupun menurut bangunnya baik dilihat dari dalam, yaitu:
1.   Usaha manusia untuk menyampaikan isi pesannya kepada manusia lain bukan usaha binatang, bukan usaha angin, bukan usaha pohon beringin, tetapi usaha manusia yang dapat menggunakan akal budinya, bukan usaha manusia yang tidak dapat menggunakan akal budinya.
2.     Usaha manusia dalam menyampaikan isi pesannya kepada manusia lain bukan usaha manusia dalam menyampaikan isi pesannya kepada Tuhan.
 
 
DAFTAR PUSAKA

H. Sofyan Sauri, Dr. M.Pd. Pendidikan Berbahasa Santun. (2006) Bandung : PT Genesindo
Juhaya S. Praja, Prof. Dr. Aliran-aliran dalam Filsafat dan Etika. (2005). Jakarta : Prenada Media.
Tafsir, A. (2002). Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

S. Suriasumatri, J. (2003). Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Kebung, K. (2008). Filsafat dan Perwujudan Diri; Belajar Filsafat dan Berfilsafat. [Online]. Tersedia: http://eputobi.net/eputobi/konrad/temp/ filsafatdanberfilsafat.htm [4 September 2008]
Liang Gie, T. (1996). Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty.
M. Syarif, M. (1996). Para Filosof Muslim. Bandung: Mizan.
R. Semiawan, C. Dkk. (1991). Dimensi Kreatif Dalam Filsafat Ilmu. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sonny Keraf, A & Dua, M. (2001). Ilmu Pengetahuan, Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius.
Amsal Bakhtiar, (2006). Filsafat Ilmu. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Amsal Bachtiar. 2009. Filsafat Ilmu. Jakarta : Rajawali Pers

Surajiyo. 2009. Filsafat Ilmu dan Pengembangannya di Indonesia. Jakarta : Bumi Aksara

Rita Kurnia. 2010. Program Pembelajaran Pendidikan Anak Usia Dini. Pekanbaru : Cendikia

     Insani

Arief Sidharta. 2008. Apakah Filsafat dan Filsafat Ilmu itu? Bandung : Pustaka Sutra

Wilson. 2009. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Pekanbaru


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Media Humas Internal dan eksternal

MEDIA HUMAS INTERNAL    Media internal adalah suatu sarana penyampaian dan penerimaan informasi di kalangan publik internal perusahaan, dan biasanya bersifat non komersial. Penerima maupun pengirim informasi adalah orang dalam atau orang dalam atau public internal, terdiri atas pimpinan, angota, pegawai, maupun unit-unit kerja yang ada di dalam perusahaan tersebut. Media Humas Internal yaitu : 1.      Jurnal Internal   Yang diterbitkan oleh suatu lembaga, biasanya memuat informasi mengenai segala sesuatu yang terjadi di dalam lembaga dan khusus diperuntukkan anggota lembaga tersebut. 2.      Papan pengumuman     Papan pengumuman dapat memudahkan pengawai yang sama dalam waktu yang bersamaan. 3.      Kaset Video   Media ini menghadirkan komunikasi tatap muka secara artificial (seolah-olah yang ditonton dapat saling berkomunikasi secara langsung) yang berpotelsi besar untuk menumbuhkan pemahaman yang lebih baik antara pihak manajemen terhadap pengawai. 4.      Stasi

PERBEDAAN HUMAN RELATION DAN PUBLIK RELATION

Jadilah pohon yang lebat buahnya, saat dilempar dengan batu engkau balas dengan buah.. selamat membaca, semoga dapat bermanfaat dan bisa menambah pengetahuan anda :) :)  PERBEDAAN HUMAN RELATION DAN PUBLIK RELATION 11.       Pengertian Human Relation Human Relation adalah: “segenap aktivitas penyatu paduan manusia dan   pekerjaan dalam suatu organisasi yang memungkinkan perkembangan diri manusia sepenuhnya sehingga antara manusia dan kerja itu terdapat hubungan timbal-balik yang bermanfaat”.(Ensiklopedi Administrasi) . Menurut Sondang P.Siagian (1977), Human Relation adalah: “Keseluruhan hubungan baik yang formal maupun yang informal yang perlu diciptakan dan dibina dalam suatu organisasi sedemikian rupa sehingga tercipta suatu teamwork yang   harmonis dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan. Human relation adalah hubungan yang bersifat intern , sedangkan hubungan yang bersifat ekstern disebut “public relation” Human relation   merupakan

Komunikasi Organisasi "fungsi pesan dalam organisasi"

v   Fungsi Pesan Dalam Organisasi   Para ahli telah mengidentifikasi persepsi mereka mengenai fungsi utama dari pesan dalam organisasi (goldhaber, 1986). Menurut Han dan Katz ada empat fungsi utama dari pesan dari organisasi yaitu : yang berkenaan dengan produksi, pemeliharaan, penerimaan dan pengelolaan organisasi. Reddingmengemukakan pula bahwa   ada tiga alasan pengiriman pesan yaitu, untuk pelaksanaan tugas-tugas dalam organisasi, untuk pemeliharaan dan untuk kemanusiaan.   Dari bermacam-macam pendapat di atas kelihatan ada kecendrungan kesamaan dari tujuan atau fungsi dari pesan walaupun dinyatakan dalam istilah yang berbeda. Di sini akan di bahas empat dari fungsi pesan tersebut yaitu fungsi yang berhubungan dengan tugas-tugas dalam organisasi, pemeliharaan organisasi, kemanusiaan dan pembaruan dalam organisasi. 1.       Pesan tugas   Pesan tugas ini di maksudnya adalah pesan-pesan yang berkenaan dengan pelaksaan tugas-tugas organisasi oleh anggota organisasi. Pesan